Doa Iftitah – Sebagai suatu amalan sunah, tentu ada asal usul mengapa doa iftitah dianjurkan untuk dibaca setiap muslim yang sedang mengerjakan salat. Meskipun hukumnya sunah yang berarti tidak menjadi syarat sahnya salat, doa iftitah ini memiliki keutamaan luar biasa.
Doa iftitah sebagaimana namanya yang bermakna pembukaan, dibaca di awal shalat tepatnya setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca surah Al-Fatihah.
Mengenai sejarah disunahkannya doa iftitah ini ada satu riwayat yang mengisahkannya. Dari Ibnu Umar ra beliau berkata,
“Suatu ketika, kami shalat bersama Nabi Muhammad saw, tiba-tiba ada seorang jemaah yang bersuara dan melafalkan kalimat ‘Allahu akbar, kabiraa walhamdulillaahi katsiiraa, wa subhaanallaahi bukratan wa’ashiilaa'”
Lantas Rasulullah saw kemudian bertanya, “Siapa yang mengatakan kalimat tadi?” Orang yang bersuara itu pun menjawab “Saya Ya Rasul!”
Kemudian Rasulullah saw berkata, “Saya heran dengan kalimat itu, karena kalimat itu mampu membuka pintu-pintu langit,”
Lalu Ibnu Umar RA mengatakan bahwa semenjak mendengar pernyataan Rasulullah SAW tentang doa iftitah itu, aku tidak pernah meninggalkan bacaan kalimat tersebut.
Secara bahasa kata iftitah bermakna pembukaan, serumpun dengan kata miftah yang secara bahasa bermakna alat pembuka atau kunci.
Maka, doa iftitah bisa dimaksudkan dengan doa kunci yang berfungsi sebagai alat pembuka dalam setiap shalat. Karena itu kandungan isinya semacam laporan akan kehadiran diri memenuhi panggilan Allah swt.
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمآوَاتِ وَالأَرْضَ
“Kuhadapkan mukaku kepada Dzat yang menjadikan langit dan bumi.”
Yang dimaksud dengan ‘muka’ bukanlah muka dzahir yang sama arti dengan wajah yang secara fisik menghadap ke arah kiblat .
Tetapi muka bathin yang menghadap ke Allah SWT. Karena pada hakikatnya yang memiliki kemampuan melihat Allah dan mengenalnya bukanlah mata dzahir, tetapi mata bathin.
Setelah melapor atas kehadirannya (sebagaimana tertuang dalam doa di atas), orang yang shalat kemudian melakukan pengakuan akan kelemahan dan kepasrahan yang berbunyi :
حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“…dengan condong dan berserah diri, dan aku bukanlah termasuk orang musyrik.”
Dalam bagian pertama doa iftitah ini terlihat sekali proses pengakuan seorang hamba akan kebesaran-Nya, yang secara otomatis memposisikan diri lebih kecil dari-Nya.
Barang siapa terbersit dalam hatinya akan adanya kekuasaan yang lebih besar dari Allah SWT, sungguh orang itu telah terjerumus dalam kemusyrikan. Begitu pula, jika terbersit kesombongan dalam hati akan ke-Aku’annya, sungguh orang itu telah terjerumus dalam syirik kecil.
Jika demikian keadaannya, maka hendaklah orang itu menata hati terlebih dahulu sebelum mengucapkan doa iftitah. Setelah melaporkan kehadiran dan pangakuan dirinya, barulah seseorang berikrar akan posisi berbagai laku ibadahnya sebagaimana terucap dalam lanjutan doa iftitah:
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya milik Allah Rabbil Alamin, tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku diperintah, dan aku termasuk orang Muslim.”
Inilah bentuk kepasrahan total seseorang, tidak ada kemampuan dan kepemilikan dalam dirinya. Jangankan hidup dan mati, ibadah dan segala amal yang dikerjakannya-pun semua dikembalikan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Pengakuan akan kepasrahan total dari seorang hamba kepada Allah SWT merupakan adalah kandungan inti dalam doa iftitah, karena itulah doa iftitah juga dapat dimaknai sebagai doa pembuka.
Tidak hanya pembuka shalat tetapi juga pembuka pintu langit. Karena doa ini sekonyong-konyong membukakan pintu komunikasi antara hamba dan Tuhannya.
Dalam pandangan ulama fikih, doa Iftitah salah satu bacaan yang sangat dianjurkan untuk dihafal dan dibaca setelah takbir ihram. Sejak masa kecil dihafalkan doa tersebut seolah menjadi rukun shalat.
Bagi para ‘arifin, doa Iftitah tidak hanya utnuk hafal lalu dibaca setiap usai takbir ihram, tetapi harus dihayati kedalaman makna doa Iftitah ini.
Doa Iftitah merupakan kelanjutan dari takbir ihram. Sedangkan, takbir ihram dalam pandangan ‘arifin merupakan starting point dalam perjalanan mi’raj menuju dan untuk menjumpai Tuhan.
Doa Iftitah sesungguhnya merupakan ungkapan kefanaan (disappear/annihilate) seorang hamba yang sedang berjumpa dengan Tuhannya.
Fana itu sendiri sering diartikan sebagai peristiwa spiritual ketika seorang hamba berada di dalam puncak kesadaran dengan Tuhannya.
Dalam perspektif tasawuf, suasana fana mempunyai beberapa tingkatan, di antaranya ialah fana dari keterikatan dengan dirinya sendiri secara fisik (al-fana’ ‘an al-ta’alluqat al-nafsiyyah)
Fana dari ketergantungan dengan kalbunya (al-fana’ ‘an al-ta’alluqat al-qalbiyyah), dan fana dari zat dan segala materi (al-fana’ ‘an al-dzati).
Doa Iftitah lebih terasa sebagai ungkapan batin yang mengalir dari jiwa paling dalam seorang hamba. Doa Iftitah diawali dengan takbir, tahmid, dan tasbih, kemudian diteruskan dengan ungkapan:
Wajjahtu wajhiya (aku menghadapkan wajahku). Bagi para ‘arifin, kata “wajah” di sini bukan hanya wajah yang menempel di badan lalu diarahkan menghadap ke arah kiblat, tetapi lebih penting dari itu ialah jiwa atau kalbu paling dalam ber-tawajjuh dengan Tuhan.
Kata hanifan musliman (kepatuhan dan kepasrahan diri) adalah ungkapan kepasrahan diri secara total kepada Allah SWT dan pada bagian akhir doa ditegaskan lagi dengan ungkapan:
Ana min al-muslimin, yang sering diatikan sebagai “aku seorang Muslim” dengan konotasi Muslim formal, padahal kata itu lebih tepat diartikan dengan “aku adalah termasuk orang-orang yang berserah diri”.
Ungkapan paling luhur di dalam doa Iftitah ialah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah kepunyaan Allah”.
Pernyataan ini menafikan segala macam urusan dan kepentingan duniawi seorang hamba dan perhatian sepenuhnya tercurah hanya kepada Allah SWT.
Hidup adalah anugerah paling mulia dan paling substansial dan kematian paling banyak ditakuti orang, namun kedua hal ini sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT.
Seolah-olah seorang hamba berhadapan langsung atau sudah menyatu dengan-Nya. Ia seolah merasakan apa yang pernah dikatakan Nabi:
An ta’bud Allah ka annaka tarahu wa in lam yakun tarahu fa innahu Yaraka (Hendaklah menyembah Allah bagaikan engkau menyaksikan-Nya, jika tidak bisa maka seolah-olah Allah yang menyaksikanmu).
Doa Iftitah bisa juga berfungsi sebagai upaya terakhir untuk menurunkan frekuensi gelombang otak dari suasana beta ke alfa, atau ke teta.
Sepanjang seseorang masih dikuasai oleh suasana beta sulit dibayangkan bisa khusyuk di dalam menjalankan shalatnya.
Rangkaian ketentuan yang harus dilakukan sebelum shalat, seperti mengambil air wudhu atau bertayamum, memperdengarkan azan dan iqamat, menutup aurat, menghadap ke kiblat, berdiri tegak, takbir ihram, sampai membaca doa Iftitah,
Keseluruhannya mempunyai fungsi untuk mengecoh pikiran yang senantiasa menguuasai diri manusia.
Selama pikiran masih aktif di dalam diri seseorang sulit baginya untuk fokus dan khusyuk di dalam menunaikan shalat.
Pilihan Editor :
Bacaan Doa Iftitah dan Artinya
Doa iftitah Allahu akbar kabiraa
اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلًا. اِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَاوَاتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّهِ رَبِّ الْعَا لَمِيْنَ. لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Allaahu akbar kabiraa walhamdulillaahi katsiiraa, wa subhaanallaahi bukratan wa’ashiilaa. Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal ardha haniifan musliman wa maa anaa minal musyrikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil ‘aalamiin. Laa syariikalahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimiin.
Artinya: “Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah pada waktu pagi dan petang. Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segenap kepatuhan atau dalam keadaan tunduk, dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang menyekutukan-Nya. “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan yang demikian itulah aku diperintahkan. Dan aku adalah termasuk orang-orang muslim.”
Doa Allahumma ba’id
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ
Allahumma ba’id bainiy wa baina khotoyaaya kamaa baa’idta bainalmasyriqi walmaghribi. Allahumma naqqiiniy min khotoyaaya kamaa yunaqqii tsaubul abyadu minnad danasi. Allahummaghsilniyy min khotoyaaya bistalji wal maai wal barodi.
Artinya: “Ya Allah, jauhkan antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah bersihkan (sucikan) dariku kesalahanku sebagaimana Engkau bersihkan (sucikan) baju yang putih dari kotoran. Ya Allah cucilah (bersihkanlah) aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air, dan embun.”